11 November 2024
Kepahitan hidup
I. Pengantar
Shaloom Bapak Ibu Saudara/i yang terkasih dalam Kristus Yesus. Dalam Kesempatan ini kita akan merenungkan bersama mengenai suatu kondisi atau situasi yang seringkali terjadi dalam kehidupan kita, di mana kondisi tersebut menyebabkan gangguan hubungan kita dengan Allah.
Mari kita bersama merendahkan diri di hadapan Allah, mohonlah pada-Nya agar kita diterangi dengan hikmat dan pengetahuan sehingga kita bisa memperoleh manfaat dalam kehidupan kita.
Renungan mengenai kepahitan dalam hidup merupakan hal yang sering terjadi dalam perjalanan iman Kristen. Kepahitan adalah kondisi hati yang terluka dan menyimpan rasa sakit atau ketidakpuasan terhadap suatu peristiwa, seseorang, atau bahkan terhadap Tuhan. Alkitab mengingatkan kita untuk menjauhi kepahitan karena dampaknya yang merusak baik secara rohani maupun emosional.
II. Latar belakang
Semenjak kecil kita sudah terbiasa diajarkan untuk bermimpi. Dari dongeng sebelum tidur, film kartun superhero, komik, novel dsb, mengajarkan kita untuk mempunyai impian yang bisa mengarahkan hidup kita punya suatu semangat untuk menjadi yang terbaik.
Akan tetapi semenjak kanak-kanak pun kita sudah mulai berkenalan dengan kondisi yang namanya "kegagalan". Kegagalan apa? Kita bermimpi ingin punya sesuatu yang kita banggakan, tetapi dilarang oleh orangtua kita. Itu menyebabkan kita kecewa. Jika orangtua kita tidak bisa memberikan penjelasan yang masuk akal dan mengganti dengan harapan yang lain, maka bisa dipastikan akan timbul perasaan yang namanya kepahitan, yaitu kekecewaan yang mendalam.
Seorang anak kecil yang berulang kali merasakan pahit di dalam hatinya, akan berubah menjadi seseorang yang keras dan berontak. Entah ia akan berubah menjadi seseorang yang jahat, keras dan bertekad mencapai impiannya, atau ia justru akan 'mengkerut' menjadi orang yang penakut, apatis, anti sosial atau minderan.
Berikut adalah statistik angka bunuh diri di berbagai negara:
Data statistik menunjukkan bahwa bunuh diri di kalangan usia muda merupakan masalah serius di berbagai negara, bahkan di negara-negara dengan indeks pembangunan manusia yang tinggi. WHO melaporkan bahwa pada 2019, sekitar 703.000 orang di seluruh dunia meninggal karena bunuh diri, dan usia 15-29 tahun merupakan salah satu kelompok yang paling rentan terhadap tindakan ini. Beberapa negara dengan angka bunuh diri muda yang tinggi termasuk Amerika Serikat, Kanada, Jerman, dan Australia. Di Amerika Serikat, misalnya, tingkat bunuh diri di kalangan pemuda sangat signifikan, dengan dampak ekonomi dan sosial yang luar biasa besar.
Alasan bunuh diri pada usia muda sering kali berkaitan dengan berbagai bentuk kepahitan dan tantangan emosional. Di masa muda, individu menghadapi transisi besar dalam hidup mereka, seperti tekanan akademik, hubungan sosial yang kompleks, masalah keuangan, dan ketidakpastian masa depan. Keadaan ini dapat menyebabkan perasaan tidak berdaya, depresi, serta krisis identitas dan tujuan hidup. Di samping itu, faktor-faktor seperti isolasi sosial, pengalaman trauma, dan penyalahgunaan zat juga memperburuk kondisi mental mereka, sehingga beberapa dari mereka merasa bahwa bunuh diri adalah satu-satunya jalan keluar.
Pemerintah di berbagai negara telah mencoba mengatasi masalah ini dengan pendekatan multifaset yang melibatkan peningkatan akses ke layanan kesehatan mental, kampanye kesadaran masyarakat, program dukungan di sekolah, serta pembatasan akses terhadap cara-cara bunuh diri. WHO juga mendorong semua negara untuk mengimplementasikan strategi pencegahan bunuh diri berbasis bukti, dengan harapan dapat menurunkan tingkat bunuh diri secara global sebesar 10%.
III. Dasar Alkitabiah tentang Kepahitan
Ibrani 12:15
Jagalah supaya jangan ada seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusakan dan yang mencemarkan banyak orang.
Dari ayat di atas, kepahitan diumpamakan sebagai akar yang dapat tumbuh di dalam hati. Ketika seseorang menjauh dari kasih karunia Allah, artinya akar pahit itu dibiarkan, maka ia segera menimbulkan kerusakan, mencemari, dan memengaruhi banyak aspek kehidupan.
Efesus 4:31-32
4:31 Segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian dan fitnah hendaklah dibuang dari antara kamu, demikian pula segala kejahatan. 4:32 Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.
Rasul Paulus mengingatkan kepada Jemaat Efesus, untuk segera menyingkirkan segala kepahitan, kegeraman, dan kemarahan dan mengajarkan harus ramah seorang terhadap yang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah di dalam Kristus telah mengampuni kamu.” Dari ayat-ayat ini, kita diajak untuk menggantikan kepahitan dengan pengampunan dan kasih.
IV. Kepahitan dan ajaran untuk mengatasinya
Dalam teologi Kristen, kepahitan adalah salah satu bentuk dosa yang halus tetapi berbahaya. Kepahitan muncul ketika manusia gagal menyerahkan rasa sakitnya kepada Allah dan mencoba menanggungnya sendiri. Jadi hanya dengan kasih karunia Allah kita dapat dibebaskan dari beban kepahitan. Tuhan Yesus Kristus sendiri mengajarkan untuk mengampuni musuh dan mereka yang berbuat jahat kepada kita (Matius 5:44). Mengampuni adalah bentuk kasih dan tindakan iman yang melawan kepahitan.
Matius 5:44
Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.
Tuhan Yesus Kristus mengajarkan kita mengasihi musuh dan justru berdoa bagi orang yang menyakiti kita, demikian juga diajarkan oleh berbagai ajaran agama besar di dunia ini:
Selain ajaran Kristen, beberapa tradisi agama lain juga mengajarkan cinta atau welas asih terhadap musuh, meskipun dengan pendekatan dan motivasi yang berbeda. Berikut ini adalah beberapa di antaranya:
a. Islam
Dalam Islam, Al-Quran mengajarkan tentang pentingnya memaafkan dan berbuat baik bahkan kepada musuh. Dalam Surah Fussilat (41:34), dikatakan, "Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia."
Islam menekankan pengampunan dan perdamaian, terutama ketika seseorang telah disakiti. Banyak hadits juga mencontohkan bahwa Nabi Muhammad SAW memaafkan musuh-musuhnya dan bahkan berdoa bagi mereka agar mendapat petunjuk.
2. Buddhisme
Dalam ajaran Buddhisme, konsep cinta kasih universal (metta) dan welas asih (karuna) diterapkan kepada semua makhluk hidup, termasuk mereka yang mungkin menyakiti kita. Dhammapada 5 menyatakan, "Kebencian tidak akan berakhir jika dibalas dengan kebencian; kebencian akan berakhir jika dibalas dengan kasih." Bagi Buddhisme, memaafkan musuh adalah bentuk pembebasan diri dari kebencian yang bisa menghalangi pencapaian kedamaian batin.
3. Hinduisme
Hinduisme juga memiliki ajaran tentang kasih sayang dan memaafkan. Dalam teks seperti Bhagavad Gita 16:3 Tejah kṣamā dhṛtiḥ śaucam adroho nātimānitā; bhavanti sampadaṁ daivīm abhijātasya bhārata. Terjemahan: "Kekuatan, pengampunan, keteguhan hati, kebersihan, tidak adanya kebencian, dan kerendahan hati adalah sifat-sifat yang dimiliki oleh mereka yang memiliki sifat-sifat ilahi, wahai Bharata (Arjuna)."
Ayat ini menekankan bahwa kṣamā (pengampunan) dan adroha (tidak ada kebencian) adalah sifat-sifat yang dianjurkan untuk mengembangkan watak ilahi. Ajaran untuk mengendalikan diri dan tidak membalas dendam. Ajaran Hindu menekankan karma dan pengampunan, dengan pemahaman bahwa setiap tindakan baik akan membuahkan hasil baik, dan kebencian hanya akan mengundang lebih banyak penderitaan. Dalam beberapa ajaran, seseorang diajarkan untuk mengasihi semua makhluk, meskipun hal ini tidak selalu eksplisit tentang “musuh.”
4. Yudaisme
Ajaran Yudaisme tentang mencintai sesama manusia dikenal dalam "V'ahavta L'reacha Kamocha" yang artinya "Kasihilah sesamamu seperti dirimu sendiri" (Imamat 19:18). Meskipun Yudaisme mengajarkan cinta kasih terhadap sesama, pendekatannya lebih khusus untuk komunitas Israel. Namun, dalam beberapa teks dan interpretasi modern, ada anjuran untuk menunjukkan kasih sayang bahkan kepada orang yang berbeda pandangan atau kepercayaan.
5. Sikhisme
Sikhisme mengajarkan welas asih, pengampunan, dan pengendalian diri dalam menghadapi kebencian atau musuh. Guru Granth Sahib, kitab suci Sikh, Rag Asa, halaman 259 dari Guru Granth Sahib. "Sabh kai madh sabad suhāī. Sabh ko apnā kīā mīṭhā mānai, har pāiā mīṭhāī." Terjemahan: "Di dalam semua, nama-Nya berbunga indah. Barang siapa yang menganggap semua sebagai manis, dan tidak menyimpan kebencian, menemukan Tuhan dalam manisnya."
Ayat ini mengajarkan bahwa memandang orang lain dengan cinta kasih tanpa kebencian adalah cara seseorang bisa menemukan kehadiran Tuhan dalam dirinya sendiri. Dalam Sikhisme, menunjukkan kasih kepada semua makhluk dan memaafkan adalah kunci kedekatan dengan Tuhan, mencerminkan sikap kerendahan hati dan kasih universal yang diajarkan dalam Guru Granth Sahib.
Secara keseluruhan, ajaran-ajaran tersebut di atas memiliki kesamaan nilai dengan Matius 5:44 dalam bentuk cinta kasih, pengampunan, dan doa bagi mereka yang mungkin menjadi lawan atau musuh. Meskipun motivasi dan konteksnya berbeda, prinsip dasar pengampunan dan kebaikan sebagai respons terhadap permusuhan tetap dapat ditemukan di berbagai tradisi agama ini.
Dari sudut pandang ini, kepahitan menandakan kurangnya iman pada kebaikan dan kedaulatan Allah. Bila kita percaya bahwa Allah bekerja untuk kebaikan kita (Roma 8:28), maka kita juga percaya bahwa segala peristiwa dalam hidup dapat mendatangkan kebaikan, bahkan yang sulit dan menyakitkan.
Roma 8:28
Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.
V. Contoh Kepahitan dalam Kehidupan Sehari-hari
Sebagai contoh, seseorang mungkin mengalami kekecewaan atau penghinaan di tempat kerja atau dalam hubungan keluarga. Mungkin seseorang merasa tidak dihargai, dikhianati, atau mengalami ketidakadilan. Tanpa disadari, pengalaman ini bisa menyisakan luka mendalam yang bertumbuh menjadi kepahitan. Bila dibiarkan, rasa ini memengaruhi caranya berinteraksi dengan orang lain, menjadikan dia lebih sinis, curiga, atau bahkan penuh amarah.
Contoh lain, seorang sahabat yang dikhianati oleh teman terdekatnya mungkin sulit melupakan kejadian itu. Setiap kali bertemu dengan orang tersebut atau mendengar namanya, ia merasakan kembali rasa sakit dan amarah. Hal ini bisa menumpuk dan menggerogoti kebahagiaannya serta relasinya dengan orang lain. Dalam keadaan seperti ini, pengampunan adalah kunci untuk melepaskan kepahitan. Meski sulit, pengampunan bukan berarti membenarkan kesalahan orang lain, tetapi menyerahkan penilaian dan keadilan kepada Tuhan.
VI. Kesimpulan Menurut Alkitab
Alkitab memberikan panduan yang sangat jelas tentang bagaimana mengatasi kepahitan:
1. Memohon kasih karunia Allah:
Dalam 2 Korintus 12:9, Allah berkata, "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Ini menunjukkan bahwa kita memerlukan kekuatan dari Allah untuk mengatasi segala kepahitan.
2. Pengampunan:
Sebagaimana Kristus mengampuni, kita pun dipanggil untuk mengampuni. Pengampunan adalah langkah awal melepaskan kepahitan.
3. Doa dan penyerahan:
Dalam Filipi 4:6-7, kita diajarkan untuk menyerahkan segala kekhawatiran kepada Allah dalam doa dan ucapan syukur. Tuhan menawarkan damai sejahtera yang melampaui segala akal untuk memulihkan hati kita.
Penutup
Kepahitan dapat menghalangi kita dari kasih karunia Allah, merusak hubungan, dan mencemarkan jiwa. Hanya dengan kekuatan dan kasih karunia Allah kita dapat dipulihkan. Dengan memilih untuk mengampuni dan menyerahkan rasa sakit kepada-Nya, kita membiarkan Roh Kudus bekerja dalam hati kita, mencabut akar pahit dan menggantinya dengan damai sejahtera serta kasih.
Semoga firman TUHAN hari ini bisa menjadi Rhema dalam kehidupan kita.
Amin.
0 comments:
Posting Komentar