26 Oktober 2024

Bahaya Konsumsi Gula Berlebih terhadap Fungsi Tubuh dan Risiko Penyakit Kronis

25 Oktober 2024




Sumber: Freepik

Bahaya Konsumsi Gula Berlebih terhadap Fungsi Tubuh dan Risiko Penyakit Kronis

Abstrak

Konsumsi gula berlebih telah diidentifikasi sebagai faktor risiko utama bagi berbagai gangguan metabolik dan penyakit kronis seperti diabetes mellitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, dan gagal ginjal. Gula, terutama fruktosa, meningkatkan risiko resistensi insulin, peradangan sistemik, dan perubahan profil lipid, termasuk penurunan High-Density Lipoprotein (HDL) dan peningkatan Low-Density Lipoprotein (LDL), yang pada akhirnya memicu penyakit kronis. Studi ini mengeksplorasi mekanisme metabolisme gula, dampak peningkatan gula darah pada keseimbangan kolesterol, serta kontribusi gula dalam memicu berbagai penyakit kronis.

Pendahuluan

Tubuh manusia mengandalkan glukosa sebagai sumber energi utama, yang diperoleh dari karbohidrat dalam makanan. Proses pengolahan gula dalam tubuh melibatkan berbagai reaksi biokimia, mulai dari glikolisis hingga siklus asam sitrat, yang menghasilkan Adenosin Tri-Fosfat (ATP) sebagai energi. Namun, konsumsi gula berlebih, terutama fruktosa dan sukrosa, berimplikasi buruk pada homeostasis metabolik tubuh. Di samping dampak pada keseimbangan gula darah, konsumsi gula yang tinggi meningkatkan risiko inflamasi, oksidasi, dan ketidakseimbangan lipid darah, yang dapat memicu penyakit kronis.

Metabolisme Gula dalam Tubuh

Saat makanan mengandung gula dicerna, glukosa diserap ke dalam aliran darah, merangsang pankreas untuk menghasilkan insulin. Insulin berperan dalam transpor glukosa dari darah ke sel-sel tubuh, di mana glukosa kemudian digunakan untuk menghasilkan ATP melalui proses glikolisis, siklus asam sitrat, dan fosforilasi oksidatif. Pada kondisi gula berlebih, sel menjadi resistensi terhadap insulin, yang pada akhirnya mengakibatkan kadar gula darah tinggi, menimbulkan risiko resistensi insulin, diabetes tipe 2, dan sindrom metabolik (Ruan & Dai, 2020).

Efek Oksidasi Akibat Konsumsi Gula Berlebih

Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi gula berlebih meningkatkan produksi radikal bebas melalui proses oksidasi glukosa dan fruktosa yang berlebihan (Ceriello et al., 2018). Fruktosa, khususnya, memasuki jalur metabolisme secara langsung tanpa memerlukan insulin, menyebabkan peningkatan produksi asam urat dan reactive oxygen species (ROS). ROS ini menimbulkan peradangan dan stres oksidatif, yang berkontribusi terhadap disfungsi endotel vaskular dan aterosklerosis (Gaby, 2005).

Bagaimana Gula Memicu Stres Oksidatif

Pelajari lebih lanjut tentang hubungan antara gula dan stres oksidatif.

Apa itu stres oksidatif?

Oksidasi, yang terjadi selama sejumlah proses alami dalam tubuh termasuk detoksifikasi dan respons imun, menghasilkan molekul tidak stabil yang dikenal sebagai "radikal bebas". Radikal bebas adalah hal yang normal, dan tubuh yang sehat dilengkapi untuk menstabilkannya dengan apa yang kita anggap sebagai molekul super-stabil: antioksidan. Ada cara sederhana untuk memvisualisasikannya. Bayangkan sebuah lingkaran dengan cincin di sekelilingnya: ini adalah molekul Anda. Cincin– atau kulit terluar– molekul memiliki sejumlah elektron (partikel dengan muatan listrik negatif): bayangkan mereka sebagai titik-titik kecil. Sebagian besar molekul memiliki jumlah elektron yang genap pada kulit terluarnya. Molekul-molekul ini stabil. Radikal bebas memiliki jumlah elektron yang ganjil pada kulit terluarnya, membuatnya tidak stabil, dan berpotensi merusak. Namun mereka ingin bergabung dengan jajaran yang stabil– dan untuk mencapai ini, mereka mencuri elektron dari molekul normal, mengubahnya menjadi radikal bebas, dan memicu reaksi berantai yang kacau.

Jadi, di manakah antioksidan berperan? Kami telah menggambarkannya di atas sebagai "sangat stabil". Antioksidan mampu menyumbangkan elektron kepada radikal bebas tanpa kehilangan stabilitasnya sendiri.

Stres oksidatif terjadi saat kita mengalami ketidakseimbangan: terlalu banyak radikal bebas, dan tidak cukup antioksidan untuk melawannya. Jika dibiarkan begitu saja, radikal bebas dapat menyebabkan kerusakan pada sel-sel kita.

Stres oksidatif terjadi dan meningkat dengan hampir semua stres, di dalam atau di luar tubuh, fisik atau emosional. Jika ini terdengar sangat luas, ya… memang begitu. Disebabkan oleh faktor-faktor termasuk racun, polutan lingkungan, stres emosional, virus, infeksi, dan pola makan, stres oksidatif telah dikaitkan dengan kondisi mulai dari kecemasan dan depresi ( 1 ) hingga sindrom kelelahan kronis ( 2 ) hingga penyakit kardiovaskular ( 3 ) dan kanker ( 4 ). Ini juga merupakan salah satu mekanisme utama yang terlibat dalam penuaan ( 5 ), dan telah terlibat dalam penyakit Alzheimer dan demensia ( 6 ).

Darimana gula masuk dan mempercepat stress oksidatif?

Bagaimana tepatnya gula mempercepat stress oksidatif? Oksidasi terjadi selama sejumlah proses tertentu. Salah satu waktu ketika oksidasi terjadi adalah ketika tubuh kita memproses gula. Semakin banyak kita mengonsumsi gula, semakin banyak oksidasi yang terjadi.

Mitokondria, "pusat energi" dalam sel kita, menggunakan glukosa (gula darah) untuk menghasilkan energi. Radikal bebas adalah produk sampingan alami dari proses ini. Kelebihan glukosa = produksi radikal bebas berlebih.

Hati, pusat detoksifikasi tubuh kita, juga dapat kewalahan dengan asupan gula yang tinggi. Hal ini menyebabkan peradangan, yang berujung pada produksi radikal bebas yang lebih banyak.

Salah satu contoh penting hubungan antara gula, stres oksidatif, dan penyakit adalah apa yang kita lihat pada diabetes tipe 2.

Gula darah (glukosa) berasal dari konsumsi gula dan karbohidrat. Kami sebutkan di atas bahwa mitokondria menggunakan glukosa di dalam sel kita untuk menghasilkan energi. Namun, sebelum proses ini dapat terjadi, glukosa harus dapat masuk ke dalam sel kita dari aliran darah. Hormon insulinlah yang membuat hal ini terjadi. Ketika asupan gula kita terlalu tinggi, hal itu akan membebani sistem ini, dan respons sel kita terhadap insulin mulai gagal. Ini berarti bahwa kita akan memiliki semua glukosa ekstra ini yang menggantung di aliran darah, mendatangkan malapetaka dengan meningkatkan produksi radikal bebas, meningkatkan peradangan, merusak sel-sel kita, dan menyebabkan stres oksidatif.

Resistensi insulin berkembang dan meningkat seiring waktu jika masalah ini tidak terdeteksi dan diatasi cukup dini. Pada akhirnya, kondisi ini berkembang menjadi diabetes tipe 2 (resistensi insulin), dan stres oksidatif yang sebagian disebabkan oleh gula merupakan salah satu faktor penyebabnya ( 7 ).

Konsumsi gula juga telah dikaitkan berkali-kali dengan perkembangan penyakit kardiovaskular; penelitian menunjukkan stres oksidatif sebagai salah satu mekanisme utama dalam proses ini ( 8 ).

Selain diabetes dan penyakit kardiovaskular, daftar penyakit yang dikaitkan dengan stres oksidatif sangat luas dan mencakup gangguan autoimun seperti rheumatoid arthritis ( 9 ); penyakit neurodegeneratif ( 10 ); penyakit mental ( 11 ); dan kanker ( 12 ).  

Pengaruh Kadar Gula Darah Tinggi terhadap Lipid Plasma

Kadar gula darah tinggi dapat mengganggu profil lipid darah, yang sering dicirikan dengan penurunan HDL dan peningkatan LDL serta Trigliserida. Mekanisme ini terjadi karena insulin yang meningkat akibat gula berlebih memengaruhi enzim lipoprotein lipase, yang mengatur distribusi lipid dalam plasma darah. Tingginya LDL dan Trigliserida serta rendahnya HDL meningkatkan risiko aterosklerosis, hipertensi, dan penyakit jantung (Stanhope, 2016).

Penyakit Kronis Akibat Konsumsi Gula Berlebih

Diabetes Mellitus Tipe 2: Konsumsi gula berlebih menyebabkan resistensi insulin, yang merupakan faktor utama dalam patofisiologi diabetes tipe 2. Data dari WHO menunjukkan bahwa diabetes mellitus tipe 2 telah meningkat signifikan dalam beberapa dekade terakhir, selaras dengan peningkatan konsumsi gula global (Sluik et al., 2016).

Hipertensi: Gula, khususnya fruktosa, diketahui meningkatkan aktivitas sistem renin-angiotensin, yang menaikkan tekanan darah melalui peningkatan vasokonstriksi. Penelitian menunjukkan bahwa konsumsi fruktosa lebih dari 74 gram per hari berkorelasi dengan risiko hipertensi 26% lebih tinggi (Jalal et al., 2010).

Penyakit Jantung Koroner: LDL yang meningkat akibat gula berlebih meningkatkan risiko pembentukan plak pada arteri, yang memicu aterosklerosis dan meningkatkan risiko serangan jantung (Yang et al., 2014).

Gagal Ginjal: Hiperglikemia yang kronis dapat merusak struktur ginjal, menyebabkan nefropati diabetik yang merupakan penyebab utama gagal ginjal kronis (de Boer et al., 2011).

Penyakit Hati Berlemak Non-Alkoholik (NAFLD): Konsumsi fruktosa dikaitkan dengan peningkatan risiko NAFLD, karena fruktosa dimetabolisme di hati dan mengarah pada akumulasi lemak hati. Akumulasi ini kemudian memicu peradangan dan fibrosis hati (Chiu et al., 2014).

Bagaimana saya dapat mencegah hal ini?

Kami tidak akan memberikan jawaban sesederhana mengurangi asupan gula, bukan? Ya. Mengurangi asupan gula mungkin bukan obat mujarab untuk stres oksidatif atau kondisi yang ditimbulkannya, tetapi ini adalah langkah awal yang baik, dan langkah yang dapat Anda ambil SEKARANG.

Langkah sederhana lain yang dapat Anda ambil untuk meningkatkan perlindungan antioksidan dan mengurangi stres oksidatif meliputi menghindari lemak terhidrogenasi, membatasi asupan alkohol, memilih makanan organik, dan meningkatkan asupan makanan antioksidan (seperti kangkung, beri, bit, jahe, teh hijau, kacang-kacangan, dan biji-bijian). Jika Anda merasa membutuhkan dukungan ekstra, bicarakan dengan praktisi Anda tentang suplemen antioksidan termasuk glutathione.

Kesimpulan

Konsumsi gula berlebih berimplikasi buruk pada kesehatan melalui peningkatan resistensi insulin, stres oksidatif, dan ketidakseimbangan lipid, yang pada akhirnya memicu penyakit kronis seperti diabetes, hipertensi, penyakit jantung, dan gagal ginjal. Pengendalian konsumsi gula dan penerapan pola makan sehat sangat penting untuk menurunkan risiko berbagai penyakit metabolik dan komplikasi kesehatan lainnya.

Daftar Pustaka

- Ceriello, A., & Motz, E. (2018). Is oxidative stress the pathogenic mechanism underlying insulin resistance, diabetes, and cardiovascular disease? The common soil hypothesis revisited. Antioxidants & Redox Signaling, 7(11-12), 1463-1467.

- de Boer, I. H., Rue, T. C., Hall, Y. N., Heagerty, P. J., Weiss, N. S., & Himmelfarb, J. (2011). Temporal trends in the prevalence of diabetic kidney disease in the United States. Journal of the American Medical Association, 305(24), 2532-2539.

- Gaby, A. R. (2005). Adverse effects of dietary fructose. Alternative Medicine Review, 10(4), 294-306.

- Jalal, D. I., Smits, G., Johnson, R. J., & Chonchol, M. (2010). Increased fructose associates with elevated blood pressure. Journal of the American Society of Nephrology, 21(9), 1543-1549.

- Stanhope, K. L. (2016). Sugar consumption, metabolic disease, and obesity: The state of the controversy. Critical Reviews in Clinical Laboratory Sciences, 53(1), 52-67.

- Yang, Q., Zhang, Z., Gregg, E. W., Flanders, W. D., Merritt, R., & Hu, F. B. (2014). Added sugar intake and cardiovascular diseases mortality among US adults. JAMA Internal Medicine, 174(4), 516-524.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar